Home » » Tradisi Bersih Desa Dan Hubungannya Dengan Tragedi Lombok Dan Palu

Tradisi Bersih Desa Dan Hubungannya Dengan Tragedi Lombok Dan Palu

Tradisi Bersih Desa Dan Hubungannya Dengan Tragedi Lombok Dan Palu  – Pada akhir acara Festival Kampung Cempluk Malang 2018, satu prosesi yang menarik perhatian adalah acara Bersih Desa. Satu Tradisi yang telah turun temurun dijalankan oleh warga desa Kalisongo, Dau, Malang.

Suasana Bersih Desa di Kampung Cempluk Festival
Suasana Bersih Desa di Kampung Cempluk Festival
Gambar : Malangvoice
Rasa ketertarikan saya untuk mengikuti upacara tradisional desa itu sangat besar sekali. Orang menyebut acara-yang diadakan tiap tahun sekali-itu "bersih desa".  Biarpun secara kultural saya sudah tercabut dari desa sejak kelas satu SMP, saya ingat di kampung saya acara itu tak ada.

Dengan membaca buku-buku antropologi, ternyata banyak jasanya dalam menyambungkan kembali saya dengan akar kebudayaan desa yang terputus itu. Dan saya kira Ben Anderson dan Geertz, yang mengembalikan saya menjadi orang Jawa yang agak tahu tentang kebudayaan Jawa. 

Dusun Sumberjo, Kalisongo, Dau, Malang
Dusun Sumberjo, Kalisongo, Dau, Malang
Gambar : Kampung Cempluk

Pada acara ini, banyak tamu-tamu dari luar desa yang hadir, mulai dari tokoh masyarakat, sejumlah aktivis LSM, para seniman, juga dosen-dosen, dan sejumlah wartawan. Saya pun hadir sebagai orang asing. Hidangan yang disajikan untuk kami pun khas desa : gethuk (dari singkong) dan ubi goreng. Keduanya masih hangat termasuk teh manisnya. 

Sambil menikmati gethuk saya mengamati kegiatan para warga desa, terutama perempuan yang berdatangan membawa sesajen lalu ditaruh dibawah pohon besar itu. Sesajen itu  terdiri dari nasi tumpeng dan nasi biasa, dengan aneka macam lauk-pauk. Ada pula sambal kerecek dan ayam goreng. 

Di Kampung saya, ayam goreng macam itu dulu hanya bisa ditemui setahun sekali tiap ada hajatan penting.

Di bawah pohon itu sesajen berderet makin panjang dan makin bervariasi. 

Ketika itu, terlihat para pamong desa sudah duduk bersila di atas panggung yang dibangun dengan atap tenda dibawah pohon besar yang tampak berwibawa dan memancarkan pesona magis. Dan, acara pun segera dimulai.

Di pohon besar itu-menurut kepercayaan setempat – bersemayam danyang, pepunden, atau leluhur, atau roh penjag a desa. Dialah yang pada siang itu, dan malam nanti, ketika pertunjukan wayang kulit berlangsung, yang menjadi pusat perhatian seluruh penduduk desa.

Tradisi Bersih Desa Kare
Arak-arakan Bersih Desa Kare
Gambar : pesona kare

Para antropolog memandang peristiwa itu sebagai momentum simbolik. Tetapi, bagi para pelakunya, peristiwa kebudayaan itu konkret. Dalam wawasan dan kesadaran kosmologi mereka, sesajen itu adalah bentuk persembahan konkret. 

Makanan itu secara wadag memang dibawa pulang kembali dan menjadi berkah bagi semua anggota keluarga, atau siapa saja yang turut makan.Tetapi para pepunden atau danyang sudah menikmati intisarinya.

Bagi para pelakunya, berkah itu pun bukan cuma artikulasi simbolik tetapi nyata. Mereka percaya setelah melakukan sesajen, hidup lebih tenteram dan lebih secure. Sebaliknya, bila upacara tak diadakan maka gangguan-gangguan bisa muncul dan membikin hidup kehilangan unsur security-nya.

Peneliti asing tanpa keraguan sedikit pun menyebut peristiwa macam ini sebagai ekspresi keagamaan orang Jawa. Memang dalam kacamata antropologi, ini bagian system religi atau kepercayaan. Saya kira, lebih tepat jangan diterjemahkan menjadi agama. Ia bagian dari wujud kesadaran kosmologi yang jauh beda dibanding agama (tiga agama besar yang diturunkan Tuhan lewat malaikat untuk para nabi dan pengikut mereka, dan bagi manusia pada umumnya).

Dalam kesadaran kosmologi orang Jawa, lelembut, danyang, dan makhluk halus dianggap sesuatu yang "nyata". Mereka ada disekitar kita. Mereka pun dianggap perlu "ruang"  atau "akomodasi" dan hidup berdampingan dengan kita. 

Agar mereka  tak mengganggu kita ,maka diperlukan sejenis "traktat". Dan wujud "traktat" itu tampak dalam tradisi "bersih desa" tadi. Ini wacana kebudayaan yang hidup dan berkembang  di desa. Bahkan mungkin otomatis menjadi salah satu elemen "roh" desa. Dia bagian dari kajian antropologi yang memikat.

Apa fungsi "bersih desa" sebagai "traktat" yang meliputi hidup warga desa-orang, manusia-dengan "lelembut" atau "danyang" tadi?


Saya kira fungsinya untuk mewujudkan harmoni, rukun, dan guyub antar tiap  unsur di dalam power relations kedua belah pihak. Untuk apa? Jelas untuk mewujudkan gagasan"koeksistensi" damai antara semua aktor yang terlibat."Koeksistensi" damai itu akan bertahan bila tiap pihak sadar bahwa mereka harus berbagi ruang "budaya" secara adil dan manusiawi.

Keadilan dalam pembagian ruang "budaya" itu menjadi peneguh kohesi social agar konflik tak terjadi. Sekali lagi cita-cita untuk harmoni, guyub, dan rukun tadi dengan begitu lalu terwujud. Si danyang tidak usil, tidak mengganggu, dan si manusia tak menyimpang dari keteraturan kosmologis yang namanya "tradisi bersih desa" tadi.

Tradisi Bersih Desa Dan Tragedi Lombok, Palu

Dalam kacamata Antropologi Jawa, apa yang terjadi di Lombok dan Palu merupakan bentuk ketidak-harmonisan hubungan antara manusia dan alam semesta sehingga perlu diadakan upacara “bersih desa” atau “bersih kota” untuk menyelaraskan kembali hubungan antara sesama mahluk Tuhan.

Tragedi Donggala, Palu
Tragedi Donggala, Palu
Gambar : Tempo.co

Meskipun wilayah Indonesia merupakan daerah “cincin api” yang terbentuk dari pecahan lempengan-lempengan bumi, yang rawan akan terjadinya gempa dan tsunami. Jika manusianya mampu menjalin hubungan dengan alam semesta lalu membuat “traktat” kedamaian, niscaya bencana alam tidak akan terjadi.

Dan menurut orang Jawa, terdapat manusia-manusia pilihan yang bertugas menjaga keseimbangan antara manusia dan alam semesta yang disebut sebagai “Paku Bumi.” Bahkan gelar-gelar raja di Jawa juga menggunakan nama-nama itu seperti Hamengku Buono, Mangku Bumi, Paku Buono dan lain-lain.

Hal ini menunjukkan apabila sebagai seorang Raja, tidak hanya menjadi pemimpin rakyatnya saja melainkan juga sebagai penjaga keseimbangan alam semesta termasuk mahluk gaib di dalamnya.

Penutup

Demikian ulasan ayodolenrek tentang tradisi “bersih desa” dan hubungannya dengan musibah bencana alam yang terjadi di Lombok dan Palu.

Satu pemikiran yang liar dari seorang pendamba keseimbangan. Sehingga jika anda memiliki pendapat sendiri baik yang setuju maupun berbeda pemikiran, silahkan tuliskan di kolom komentar dibawah ini.

Semoga bermanfaat..

Sumber : “Bersih Desa” karya Mohamad Sobary


1 komentar: