Roro Mendut, Pajak dan Harga Rokok

Ayo Dolen Rek, Roro Mendut, Pajak dan Harga Rokok - Kisah Roro Mendut dan Pranacitra adalah kisah nyata yang menjadi legenda di tanah Jawa. Cerita tentang wanita sebagai rampasan perang dan kesetiaan serta perjuangan dalam mempertahankan cinta ini, terjadi pada masa Kerajaan Mataram dibawah pemerintahan Sultan Agung.


Roro Mendut adalah putri Adipati Pergola penguasa Kadipaten Pati. Karena dianggap “mbalelo” terhadap Mataram, maka Pati diserang oleh pasukan Mataram yang dikomandani Adipati Wiraguna. Kesaktian Adipati Pragola dapat ditaklukan oleh Sultan Agung, sementara itu, para prajurit yang dikomandani panglima perang Mataram, segera merampas harta kekayaan Kadipaten Pati, termasuk Rara Mendut. 


Roro Mendut, Pajak dan Harga Rokok

Sebagai wanita rampasan perang, kecantikan dan kemolekan tubuh Roro Mendut, memikat hati Tumenggung Wiraguna sehingga memboyongnya ke Mataram untuk dijadikan selirnya. Meskipun tak berdaya, tapi Roro Mendut berani menolak tawaran itu.


Tumenggung Wiraguna tidak menyerah, namun, karena sudah  berkali-kali membujuk Rara Mendut dan selalu ditolak. Bahkan, di hadapan panglima perang Mataram itu, Roro Mendut terang-terangan menyatakan bahwa dirinya telah memiliki seorang kekasih bernama Pranacitra. 


Cinta dan kesetiaan terhadap kekasihnya, membuat Roro Mendut bersikukuh pada pendiriannya sehingga membuat Tumenggung Wiraguna murka lalu mengancam, “Baiklah, Rara Mendut. Jika kamu tidak ingin menjadi selirku, maka sebagai gantinya kamu harus membayar pajak kepada Mataram!” 


Rara Mendut tidak gentar mendengar ancaman itu. Ia lebih memilih membayar pajak daripada harus menjadi selir Tumenggung Wiraguna. Oleh karena masih dalam pengawasan prajurit Mataram, Rara Mendut kemudian meminta izin untuk berdagang rokok di pasar. Tumenggung Wiraguna pun menyetujuinya. 


Nah, untuk membayar pajak kepada Mataram, Roro Mendut memanfaatkan pesona kecantikan yang ada pada dirinya. Rokok “tingwe” atau “nglinting dewe” menjadi barang dagangannya. Meskipun seorang wanita, namun tangannya piawai meracik tembakau dan melintingnya dengan kertas sehingga menjadi rokok ciri khasnya.


Pada masa itu, Jarang seorang wanita yang merokok sehingga Roro Mendut menjadi pusat perhatian para pengunjung pasar khususnya para lelaki. Pada umumnya, seorang wanita akan canggung  dan malu ditonton para lelaki. Tapi, berbeda dengan Mendut, dengan gerak gemulai dan gaya memikat, membuat para lelaki makin geregetan.


Roro Mendut dan "tingwe"


Cara memegang rokok lalu menempelkan pada bibirnya yang seksi lalu menghisap dan menghembuskan asapnya, membuat para lelaki terpesona hingga terbawa pada angan romantisnya.  Dalam bayangan mereka, menyedot rokok bekas Roro Mendut, seolah dapat merasakan kelembutan bibir wanita rupawan ini.


Sehingga, semakin pendek rokok itu, akan semakin dekat dengan bibir penjualnya sehingga semakin mahal harganya. Jauh lebih mahal dibandingkan rokok “tingwe” yang dibuat sendiri.


Namun, dengan cara itulah, dagangan rokok “tingwe” Roro Mendut, laris manis sehingga mampu membayar pajak pada kerajaan Mataram.


Tidak hanya pada era kerajaan Mataram saja, saat ini harga rokok di Indonesia juga sangat unik. Bukan dibalut dengan kecanikan dan bibir seksi Roro Mendut, tapi ditambah dengan beberapa macam jenis pajak yang dibebankan pada pembeli.


Saat ini, dalam harga sebungkus rokok, uang yang harus dikeluarkan oleh pembeli lebih banyak untuk pembayaran pajak tidak langsung. Pajak tersebut berupa :

  • Cukai Hasil Tembakau (CHT), 
  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN), 
  • Pajak Rokok.

Ilustrasi Harga Rokok Saat ini


Sebagai contoh, kita membeli sebungkus rokok Marlboro dengan harga Rp 31.400 di minimarket. Sementara, rokok ini memiliki Harga Jual Eceran (HJE) atau harga banderol, harga yang tertera pada pita cukai, sebesar Rp 35.800. 


Roko Marlboro berisi 20 batang dengan tarif cukai per batang Rp 935. Sehingga pajak CHT yang dibayar sebesar Rp 18.700 berasal dari 20 batang x Rp935,kemudian, PPN Rp 3.258 (9,1% x Rp 35.800) dan Pajak Rokok Rp 1.870 (10% x Rp18.700). Total pajak seluruhnya sebesar Rp 23.828 berasal dari Rp 18.700 + Rp 3.258 + Rp 1.870. 


Dengan kata lain harga yang dibayar konsumen sebesar 76%-nya adalah pajak.


Jika melihat pada bungkus rokok yang kita beli, maka akan terlihat informasi berikut ini :

  • Tahun penerbitan pita cukai; 
  • Harga yang tercetak adalah Harga Jual Eceran (HJE) atau harga banderol; 
  • Jumlah batang (btg) rokok dalam satu bungkus; 
  • Cukai dinyatakan dalam rupiah per batang (RpXXX/btg). 


Hitunglah pajak yang kitabayar. 

  • Cukai Hasil Tembakau, kalikan tarif cukai per batang dengan jumlah batang. 
  • PPN, 9,1% dari HJE atau harga banderol. 
  • Pajak rokok, 10% dari besarnya cukai pada perhitungan pertama. 


Jumlahkan cukai, PPN, dan pajak rokok. Inilah pajak yang Anda bayar ketika membeli sebungkus rokok.

 

Lumayan besar, bukan?


Tingwe atau Linting Dewe Solusi Hindari Pajak

Tingwe atau Linting Dewe


Entah sejak kapan kata “tingwe” ini muncul. Tingwe atau “linting dewe” atau melinting sendiri tercatat dalam buku “Tingkah Laku Agama Politik dan Ekonomi di Jawa” Karya Lance Castle, diterbitkan oleh Industri Rokok Kudus pada tahun 1982, sedangkan versi asli Bahasa Inggris buku ini terbit pada 1967.


Lange Castles berpandangan jika “tingwe” dilakukan untuk menghindari pajak yang dipungut melalui penjualan cukai.


Pada awalnya tradisi “tingwe” ini dilakukan oleh para pekerja kerah biru dan petani di pedesaan. Tradisi ini berkembang jadi kebiasaan harian, ada juga yang hanya  sebagai selingan karena di waktu tertentu seperti acara hajatan akan disuguhu rokok buatan pabrik. Memang, pada masa lalu, rokok beserta jenis dan mereknya menjadi sarana untuk menunjukkan strata sosial.


Tapi, sekarang melinting tembakau bagi sebagian orang menjadi satu aktivitas yang mengasyikkan. Kenaikan harga rokok, kondisi ekonomi yang terganggu akibat pandemi, bertambahnya waktu luang karena sebagian besar pekerjaan dilakukan di rumah membuat aktivitas “tingwe” kian berkembang. 


Seperti yang dilakukan penggemar kopi dengan mencampur atau nge-blend beragam kopi, “tingwe” juga memadukan aneka tembakau dari berbagai penjuru agar mendapatkan citarasa yang diinginkan. Sebagian meramu agar aroma dan rasanya seperti rokok favoritnya, sebagian lagi menginginkan citarasa original serta tembakau rasa-rasa bagi generasi milenial.


Tingwe atau Pajak ?


Setelah mengetahui kisah Roro Mendut dan pengaruh pajak terhadap harga rokok, maka kembali lagi pada diri kita masing-masing. Namun, dalam kondisi pandemic dan perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, “tingwe” adalah solusi bagi para ahli hisap. Syukur-syukur, jika kita dapat berhenti merokok sepenuhnya.


Jika masih susah meninggalkan rokok, maka tembakau dan “tingwe” adalah solusi tepat.



Salam “tingwe”


Baca  artikel terkait :