Ruwatan Massal, Taman Kriya Budaya, Malang – Minggu, 16 September 2019, bertempat di kawasan Taman Krida Budaya dan RRI kota Malang berlangsung atraksi budaya yang sudah jarang kita saksikan yaitu Tradisi Ruwatan Massal. Acara yang menjadi bagian dalam agenda wisata kota Malang ini banyak mendapatkan respon positif warga Malang dan para pemerhati budaya serta diikuti oleh puluhan orang bersama keluarganya.
Ruwatan Massal di Taman Krida Budaya, Suhat, Malang |
Sangat unik dan menarik dapat menyaksikan tradisi nenek moyang kita dahulu yang sudah banyak ditinggalkan dan sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada masa sekarang ini. Karena masih banyak masyarakat Jawa sendiri terutama generasi milenial yang tidak mengetahui tentang tradisi “ruwatan” ini.
Sehingga dengan menyaksikan Tradisi Ruwatan Massal yang diselenggarakan Disbudpar kota Malang ini, dapat memberikan tambahan wawasan dan pengetahuan tentang tradisi nenek moyang kita yang dianggap sebagai budaya animisme oleh mereka yang belum memahaminya.
Pandawa atau Mancalaputra, Suryanto paling kanan dan empat saudara laki-lakinya |
Nah, kali ini, ayodolenrek mencoba menguak tabir Tradisi Ruwatan dan kaitannya dengan atraksi budaya dalam meningkatkan kunjungan wisata ke kota Malang. Sebagai narasumber adalah Suryanto, seorang sahabat dolenners yang memiliki 5 saudara laki-laki atau disebut Pandawa Lima atau Mancalaputra, salah satu “anak nandang sukerta” yang menjadi makanan Bathara Kala dalam tradisi ini.
Tradisi Ruwatan
Pada hari Minggu kemarin, terdapat dua titik acara yang menggelar tradisi ruwatan. Karena diikuti oleh banyak orang, maka acara yang diselenggarakan setiap bulan Suro atau setahun sekali ini disebut “Ruwatan Massal,” yaitu :
- Taman Krida Budaya, Soekarno Hatta, Malang dengan pertunjukan wayang kulit oleh Dalang Ki Purbo Aji yang membawakan lakon berjudul Murwakala.
- Panggung Budaya RRI Malang dengan pertunjukan wayang kulit oleh Dalang Ki Djoko Setiyono yang membawakan lakon berjudul Manik Maya Jagad Ginelar.
Karena Suryanto sebagai narasumber mengikuti tradisi ruwatan ini di Taman Krida Budaya Malang, maka pembahasan kali ini lebih focus pada acara di taman krida ini, sedangkan tradisi ruwatan di RRI Malang akan dibahas di artikel lain.
Suryanto dan 4 saudaranya melakukan prosesi "Sungkeman" dalam Tradisi Ruwatan Massal |
Peserta tradisi ruwatan di Suhat Malang ini cukup banyak mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa termasuk Cak Sur bersama keempat saudara laki-lakinya. Mereka bersama keluarganya atau diantar oleh orangtuanya untuk mengikuti acara pembersihan diri baik jiwa dan raga lalu disucikan melalui rangkaian ritual sehingga dapat terbebas dari mala petaka, bencana dan nasib sial.
Biasanya, tradisi ruwatan ini digelar bertepatan dengan tahun baru Jawa yaitu tanggal 1 Suro. Namun, karena melibatkan banyak orang dan membutuhkan dana penyelenggaraan yang cukup banyak, maka acara ini diselenggarakan secara massal dan dilaksanakan masih dalam bulan Suro.
Tujuan utama dari tradisi ini adalah memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dapat membersihkan atau menyucikan manusia atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan sehingga berdampak pada nasib sial yang dialami sepanjang hidupnya.
Prosesi Sungkeman dalam Ruwatan Massal di TKB Malang |
Tradisi ruwatan ini merupakan warisan budaya nenek moyang kita pada masa lalu yang menganut agama Hindu bukan animisme seperti anggapan yang salah selama ini. Lalu pada masa penyebaran agama Islam di Jawa, Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai Islam pada tradisi ini sehingga terjadi akulturasi budaya.
Tentunya sangat menarik, ketika dapat menyaksikan rangkaian prosesi dalam tradisi ruwatan yang jarang ada ini. Bagaimana tidak, dalam acara ini kita akan disuguhi alunan musik-musik khas Jawa yang mungkin terasa asing di telinga karena sudah terbiasa mendengarkan lagu-lagu masa kini.
Prosesi Siraman dalam Ruwatan Massal di Taman Krida Budaya Malang |
Taman Krida Budaya sendiri mengusung konsep Jawa kuno mulai dari arsitektur dan desain bangunannya. Kemudian, seluruh panitia juga mengenakan pakaian adat Jawa, ditambah dengan adanya pagelaran wayang kulit yang membuat acara ini semakin menarik seolah kita kembali pada masa lalu.
Selain itu, acara Ini terlihat semakin unik, menarik dan terasa suasana magisnya ketika terlihat aneka sesajen yang mewarnai setiap prosesi. Aroma dupa dan wangi bunga serta doa-doa yang diwujudkan dalam bentuk simbolik yang terdiri dari buah-buahan, sayuran dan ayam ingkung, menjadi kelengkapan tradisi ruwatan ini.
Sehingga Disbudpar kota Malang bekerjasama dengan Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME menjadikan event budaya ini sebagai sarana untuk melestarikan kebudayaan Jawa kuno yang dapat menjadi agenda wisata sehingga dapat mendatangkan wisatawan ke kota Malang.
Sarana atau Sesaji Dalam Tradisi Ruwatan
Adapun sesaji yang harus dipersiapkan dalam Tradisi Ruwatan antara lain adalah sebagai berikut.
- Tuwuhan, api (batu arang) di dalam anglo,
- Kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan,
- Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter,
- Nasi golong dengan perlengkapannya,
- Nasi wuduk dengan kelengkapannya,
- Nasi kuning dengan kelengkapannya,
- Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu jenang merah, putih, jenang kaleh, dan jenang baro-baro (aneka bubur).
- Jajan pasar,
- Burung dara satu pasang,
- Ayam jawa sepasang, ataupun bebek sepasang.
Prosesi Ruwatan
Dalam Tradisi ruwatan ini serangkaian ritual atau prosesi upacara dilakukan secara bertahap dan tertata rapi. Dimulai dengan doa bersama, sungkeman anak kepada orang tuanya, jamasan (mandi jamas dengan air londho merang). Kemudian, dilanjutkan ritual dengan menyaksikan bersama pertunjukan wayang kulit yang dimainkan seorang dalang.
Lakon yang dibawakan dalam tradisi ruwatan adalah lakon yang khusus hanya dimainkan dalam acara ini saja. Dan, dalangnya bukanlah sembarang dalang melainkan dalang khusus yang mampu meruwat atau disebut dalang ruwat.
Latar Belakang Ruwatan
Dalam tradisi “ruwatan” terdapat tiga hal yang menjadi bagian dari ritual ini yaitu anak “sukerta”, Bathara Kala dan pertunjukan wayang kulit dengan lakon Sudamala, Murwakala atau Manikmaya Jagad Ginelar atau lakon lainnya yang berkaitan dengan kedua hal tersebut.
Dalam, kisah pewayangan berjudul Murwakala diceritakan apabila Bathara Kala, seorang raksasa putera Bathara Guru pemimpin para Dewa, diperbolehkan makan manusia yang digolongkan sebagai “anak sukerta”. Maka, Sang Kala turun ke bumi untuk mencari mangsanya.
Hal itu terus berlangsung sampai akhirnya Bathara Kala bertemu dengan Pandawa Lima yang termasuk dalam kriteria “anak sukerta”. Namun, berkat campur tangan Bathara Kesna yang merupakan titisan Dewa Wisnu, akhirnya Pandawa dapat selamat setelah diruwat terlebih dahulu.
Kisah inilah yang menjadi latar belakang tradisi ruwatan. Sehingga ketika ada manusia yang termasuk dalam golongan “sukerta”, masyarakat Jawa pada masa lalu selalu menggelar acara “ruwatan” untuk menyelamatkannya dari bencana akibat ulah Bathara Kala.
Ruwatan berasal dari kata “ruwat” yang artinya menghindarkan dan menjaga dari mara bahaya, bencana atau kesialan. Semua bencana tersebut dalam bahasa Jawa disebut “kala” atau “kolo”.
Anak Nandang Sukerta
Dalam pandangan masyarakat Jawa, tradisi ruwatan sebaiknya dilakukan terhadap empat golongan sebagai berikut ini :
- Upacara ruwat bagi orang atau anak yang dianggap mempunyai nasib buruk, disebabkan kelahirannya (anak nandang sukerta).
- Ucapara ruwat bagi orang atau anak yang cacat tubuhnya.
- Ucapara ruwat bagi orang yang dianggap bersalah, karena telah melanggar pantangan atau merusak benda-benda tertentu.
- Ruwatan Desa atau lingkungan yang biasa disebut ‘bersih desa
- Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
- Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal.
- Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan.
- Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki.
- Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi ( placenta ).
- Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ( yang lahir pada saat bersamaan ) .
- Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
- Kendhana-Kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
- Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki.
- Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
- Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya laki-laki.
- Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan.
- Dan lain-lain.
Itulah beberapa ciri anak yang tergolong “nandang sukerta”.
Penutup
Sahabat dolenners, itulah ulasan ayodolenrek tentang Tradisi Ruwatan atau Ruwatan Massal di Taman Krida Budaya yang diselenggarakan dalam rangka memelihara atau “uri-uri” budaya Jawa sekaligus dapat menjadi atraksi budaya sehingga dapat meningkatkan kunjungan wisata ke kota Malang.
0 komentar:
Posting Komentar