Tradisi Megengan dan Kue Apem – Menjelang bulan Ramadhan atau bulan puasa seperti saat ini, masih banyak ditemukan kue Apem dalam tradisi “Megengan”, terutama di wilayah pedesaan. Tapi, juga masih dapat ditemukan di perkotaan dimana warganya masih memelihara tradisi warisan leluhur.
Tradisi "Megengan" dan Kue Apem Gambar : info magetan |
Di desa, hampir setiap rumah membuat kue Apem ini. Kemudian, kue Apem bersama pelengkapnya dibagi-bagikan kepada para tetangga. Meskipun dirumahnya sudah membuat Apem, namun kiriman dari tetangga tidak boleh ditolak. Selain itu, menjelang puasa, banyak tetangga yang mengundang selametan kecil-kecilan. Dan, masing-masing undangan mendapatkan “berkat” yang juga berisi kue Apem. Sehingga kue Apem menumpuk di meja makan.
Saat pertama kali tinggal di desa, Penulis yang telah puluhan tahun meninggalkan pulau Jawa, merasa bingung dengan fenomena kue Apem ini. Saking banyaknya kiriman dari tetangga, membuat selera untuk makan kue ini jadi berkurang. Namun, lama kelamaan menjadi terbiasa. Dan, semakin tertarik dengan tradisi leluhur yang memiliki makna tersirat di dalamnya ini.
Baca Juga : Tradisi Grebeg Tengger Tirto Aji 2019
Asal Nama Apem
Kue ini berasal dari negara India dengan nama Appam. Merupakan penganan tradisional yang dibuat dari tepung beras yang didiamkan semalam dengan mencampurkan telur, santan, gula dan tape, serta sedikit garam kemudian dibakar atau dikukus. Kue Appam ini bentuknya seperti Serabi namun lebih tebal.
Kue Apem (Resep Masakan) |
Pada masa peralihan agama di Jawa dari Hindu ke Islam, dalam rangka penyebaran agama, Sunan Kalijaga memasukkan unsur-unsur Islam ke dalam tradisi masyarakat Jawa yang kala itu masih beragama Hindu. Salah satunya melalui kue ini.
Kue Apem (Jatim Tribunnews) |
Kue ini dijadikan sebagai sarana untuk memohon maaf kepada tetangga atau sanak kerabat apabila membuat kesalahan atau menyakiti hatinya baik sengaja maupun tidak sengaja dengan mengirimkan kue ini. Sehingga, istilah apem sebenarnya berasal dari bahasa Arab yaitu “afuan” atau “afuwwun” yang berarti ampun. Lalu, orang Jawa menyederhanakannya menjadi “apem”.
Kue Apem dan Tradisi Megengan
Sesuai dengan makna yang tersirat dalam kue Apem, masyarakat Jawa selalu menyertakan kue ini dalam setiap hajatan, kenduri atau selametan. Tujuannya untuk meminta maaf apabila ada kesalahan tuan rumah dalam menghormati dan melayani tamu-tamu undangannya.
Nah, apalagi menjelang menjalankan ibadah puasa. Karena selama setahun lamanya kita berkumpul dan bergaul dengan tetangga dan lingkungannya, tanpa kita sadari, kita telah berbuat kesalahan atau menyakiti perasaan orang lain.
Sehingga menjelang bulan puasa, masyarakat Jawa berusaha memohon maaf dan ampunan kepada tetangga dan kerabat atas kesalahan yang pernah dilakukan dengan mengadaan tradisi “Megengan” dimana didalamnya terdapat kue Apem sebagai simbol permohonan maaf.
Tradisi “Megengan” berasal dari bahasa Jawa “megeng” yang berarti menahan diri atau menahan makan dan minum serta hawa nafsu dalam menjalankan ibadah puasa. Tentunya, ibadah puasa akan terasa nyaman dan tenang apabila kesalahan-kesalahan kita terhadap tetangga sekitar telah dimaafkan.
Legenda Berkaitan Dengan Kue Apem
Pada masa penyebaran agama Islam di Jawa, Sunan Kalijaga memiliki seorang murid yang dijuluki sebagai Sunan Geseng atau Ki Ageng Gribig. Ketika baru pulang dari ibadah haji, Ki Ageng Gribig melihat penduduk Desa Jatinom, Klaten, sedang kelaparan.
Beliau lalu membuat kue apem kemudian dibagikan kepada penduduk yang kelaparan sambil mengajak mereka mengucapkan lafal dzikir “Ya Qowiyyu” atau Allah Maha Kuat. Meskipun kue apem bikinannya hanya sedikit, namun sebanyak apa pun penduduk yang mengambilnya, kue Apem itu masih ada. Dan, para penduduk itu pun menjadi kenyang.
Legenda inilah, yang menjadi pendorong penduduk setempat untuk terus melestarikan dan menghidupkan tradisi “Ya Qowiyyu” setiap bulan Safar.
Kue Apem Sebagai Sarana Bersyukur
Pada tradisi “Megengan”, kue apem dibuat untuk dibawa ke surau, musala atau masjid. Lalu, setelah berdoa bersama, kue apem dibagi kepada para tetangga atau mereka yang kurang beruntung. Sehingga bisa dikatakan, kue ini juga sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah kita dapatkan.
Kue Apem juga sebagai simbol rasa bersyukur ketika prosesi Tingalan Dalem Jumenengan ke-24 Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam memimpin Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 2012.
Sementara di Cirebon, kue Apem dimaknai sebagai kue kebersamaan. Dimana, dalam masyarakat Cirebon, kue ini dibuat ketika bulan Safar atau bulan ke-2 dalam kalender Hijriyah guna dibagikan kepada para tetangga secara gratis sehingga semua masyarakat dapat sama-sama merasakannya.
Makna Filosofis Kue Apem
Ternyata, kue Apem bukanlah sekadar kue yang hanya untuk dimakan saja. Melainkan, terdapat makna filosofisnya yang terkandung di dalamnya.
- Kue apem ini merupakan simbol permohonan ampun atas berbagai kesalahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dari pengertian kata apem itu sendiri .
- Nilai syukur. Karena itu mempunyai kesadaran akan kewajibannya dalam melakukan pengabdian dan selalu bersyukur kepada-Nya. Syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan setiap waktu. Dengan kue apem ini dijadikan sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap rezeki yang sudah kita dapatkan. Karena itu, dalam setiap acara selamatan atau kenduri selalu disertakan apem di dalamnya.
- Nilai Kepedulian Sosial. Dalam masyarakat Jawa memiliki jiwa kepedulian sosial yang sangat tinggi. Sesuai dengan sila ke-2 dari Pancasila, yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab. Menunjukkan bahwa masyarakat saling membantu dengan sarana berbagi kue apem tersebut.
Penutup
Sahabat dolenners, itulah ulasan tentang Kue Apem dalam tradisi “Megengan” yang rutin dijalankan oleh masyarakat Jawa setiap menjelang bulan puasa. Satu tradisi yang mengandung nilai-nilai luhur kemanusiaan. Dimana kita dapat memohon maaf, bersyukur dan berbagi dengan sesama melalui kue Apem ini.
Nah, tunggu apalagi? Mari kita buat kue Apem bersama-sama..
Artikel Lainnya :
Artikel Lainnya :
0 komentar:
Posting Komentar