8 Abad Kerajaan Tumapel atau Singhasari - Kerajaan Tumapel / Singhasari berdiri pada tahun 1222 M sebagai satu kerajaan otonom di bumi Jawa. Sebelumnya, yang berkuasa adalah Kerajaan Kadirisejak era pemerintahan Raja Jayabaya seperti tertulis dalam Prasasti Hantang pada tahun 1135 M yaitu "Pangjalu Jayati" atau kemenangan Panjalu / Kadiri atas Jenggala.
8 Abad Kerajaan Tumapel atau Singhasari
Lalu, pada tahun 1222 M, Ken Arok berhasil membebaskan Jenggala dan memenangkan pertempuran besar di Ganter atas Kadiri. Pada masa itu, yang berkuasa di Kadiri adalah Raja Kretajaya atau Kertajaya atau Prabu Dandang Gendis. Kemenangan Ken Angrok ini tertulis juga dalam Prasasti Hantang sebagai "Tumapel Jayati" atau kemenangan Tumapel.
Ken Arok Raja Kerajaan Singhasari I
Dan, sosok Ken Arok adalah pendiri dan Raja Pertama kerajaan Tumapel dengan gelar abhiseka Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi.
Namun, 800 tahun telah berlalu. Banyak perubahan yang telah terjadi sehingga nama kerajaan Singhasari semakin hilang dari ingatan masyarakat Indonesia.
"Hanya kenangan indah masa lalu.."
Memang benar, kerajaan Singhasari hanyalah masa lalu seperti halnya Majapahit, Demak, Pajang, Jipang dan lain-lain. Akan tetapi muncul satu pertanyaan, "apakah Indonesia saat ini akan ada tanpa keberadaan kerajaan pada masa lalu?"
Tentunya, tidak akan ada. Karena kebradaan kita saat ini adalah warisan dari para leluhur kita terdahulu. Kita, sekarang ini, tidak serta merta ada sebagai bangsa Indonesia. Namun, harus melalui proses panjang yang berjalan dari masa ke masa.
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah," Kata Bung Karno, founding father bangsa Indonesia. Karena sejarah dan budaya adalah benteng terakhir pertahanan bangsa agar rakyat Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.
Tanpa jati diri sebagai bangsa, kita tak ubahnya seperti boneka yang mudah dipermainkan oleh bangsa asing.
Untuk mengenang kembali kerajaan Tumapel, berikut ini adalah video-video yang diunggah dari Jejak Alam Youtube Channel.
Semoga dengan adanya video-video ini, meskipun hanya sedikit akan dapat mengingatkan kita kembali sebagai generasi penerus bangsa Nusantara.
8 Abad Kerajaan Tumapel atau Singhasari - Kerajaan Tumapel / Singhasari berdiri pada tahun 1222 M sebagai satu kerajaan otonom di bumi Jawa. Sebelumnya, yang berkuasa adalah Kerajaan Kadirisejak era pemerintahan Raja Jayabaya seperti tertulis dalam Prasasti Hantang pada tahun 1135 M yaitu "Pangjalu Jayati" atau kemenangan Panjalu / Kadiri atas Jenggala.
8 Abad Kerajaan Tumapel atau Singhasari
Lalu, pada tahun 1222 M, Ken Arok berhasil membebaskan Jenggala dan memenangkan pertempuran besar di Ganter atas Kadiri. Pada masa itu, yang berkuasa di Kadiri adalah Raja Kretajaya atau Kertajaya atau Prabu Dandang Gendis. Kemenangan Ken Angrok ini tertulis juga dalam Prasasti Hantang sebagai "Tumapel Jayati" atau kemenangan Tumapel.
Ken Arok Raja Kerajaan Singhasari I
Dan, sosok Ken Arok adalah pendiri dan Raja Pertama kerajaan Tumapel dengan gelar abhiseka Sri Rangga Rajasa Sang Amurwabhumi.
Namun, 800 tahun telah berlalu. Banyak perubahan yang telah terjadi sehingga nama kerajaan Singhasari semakin hilang dari ingatan masyarakat Indonesia.
"Hanya kenangan indah masa lalu.."
Memang benar, kerajaan Singhasari hanyalah masa lalu seperti halnya Majapahit, Demak, Pajang, Jipang dan lain-lain. Akan tetapi muncul satu pertanyaan, "apakah Indonesia saat ini akan ada tanpa keberadaan kerajaan pada masa lalu?"
Tentunya, tidak akan ada. Karena kebradaan kita saat ini adalah warisan dari para leluhur kita terdahulu. Kita, sekarang ini, tidak serta merta ada sebagai bangsa Indonesia. Namun, harus melalui proses panjang yang berjalan dari masa ke masa.
"Jangan sekali-kali melupakan sejarah," Kata Bung Karno, founding father bangsa Indonesia. Karena sejarah dan budaya adalah benteng terakhir pertahanan bangsa agar rakyat Indonesia tidak kehilangan jati dirinya.
Tanpa jati diri sebagai bangsa, kita tak ubahnya seperti boneka yang mudah dipermainkan oleh bangsa asing.
Untuk mengenang kembali kerajaan Tumapel, berikut ini adalah video-video yang diunggah dari Jejak Alam Youtube Channel.
Semoga dengan adanya video-video ini, meskipun hanya sedikit akan dapat mengingatkan kita kembali sebagai generasi penerus bangsa Nusantara.
Salam Jejak Alam
Ayodolenrek - Sejarah dan Asal usul Nama Kecamatan Wagir, Malang, Jatim.
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya"
Satu peribahasa yang menyatakan jika setiap daerah mempunyai sejarah, asal-usul, adat-istiadat dan budaya yang berbeda=beda. Dan, hampir setiap daerah di Indonesia, memilikinya sehingga dikatakan Indonesia memang kaya akan tradisi dan budaya.
Punden Mbah Wagirun
Kali ini, ayodolenrek mencoba menyajikan informasi tentang asal-usul satu daerah di Malang, Jawa Timur, yaitu Kecamatan Wagir.
Indonesia khususnya Pulau Jawa memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dimana hampir di setiap daerah memiliki seorang tokoh yang dianggap sebagai pionir dalam membuka lahan dan mengembangkan wilayahnya. Seorang tokoh Bedah Kerawang.
Terdapat sebuah punden diantara hamparan sawah dan ladang. Saat mendekatinya, dua bangunan joglo yang ditengah-tengahnya terdapat satu makam. Sebuah papan nama tergantung bertuliskan "Punden Mbah Wagirun".
Nama "Wagirun" mirip dengan nama Wagir. Dan ternyata di punden inilah tokoh bedah kerawang kecamatan Wagir dikebumikan. Lalu, siapakah nama aslinya, darimana asalnya dan siapakah keturunannya?
Berikut ini, penuturan Pak Biin, Juru kunci Punden Mbah Wagirun.
Sejarah dan Asal-usul Desa Wagir malang
Mbah Wagirun memiliki nama asli Surya Wijaya atau Surya Jaya yang merupakan pengikut dari Pangeran Diponegoro yang berjuang melawan VOC Belanda pada tahun 1925 -1930.. Ketika Pangeran Diponegoro kalah, maka para pengikutnya banyak yang melarikan diri ke berbagai daerah di Jawa, salah satunya adalah wilayah Malang, Jawa Timur.
Tercatat ada 9 orang atau lebih para prajurit Pangeran Diponegoro yang tersebar di wilayah Malang Raya. Salah satunya adalah Mbah Wagirun atau Surya wijaya yangberasal dari desa Wadung, kecamatan Wadung, Pati, Jawa Tengah.
Punden Eyang Surya Jaya atau Mbah Wagirun
Untuk menghindari kejaran tentara Belanda, Eyang Surya Jaya bersama pengikutnya melakukan perjalanan dari Pati menuju Malang lewat pinggiran atau melewati jalan pinggir dan jarang dilewati orang. Akhirnya, menemukan satu wilayah yang dianggap cocok, maka beliau bersama pengikutnya melakukan "babad alas" atau pembukaan lahan.
Hari Rabu Wage yang dipilih. Sehingga wilayah itu dikenal dengan nama Wagir yang berasal dari kata Wage dan "pinggir".
Kemudian, di tempat awal Mbah Wagirun ini, berkembang menjadi satu pedukuhan dimana mereka menetap dan mengembangkan keturunan. Salah satu putra Eyang Surya Jaya adalah Mbah Suratman atau Surya Putra, mengembangkan wilayah di Tegal Sokan. Semakin lama wilayah ini berkembang menjadi pesesaan lalu sekarang menjadi satu kecamatan di Kabupaten Malang.
Dan, keturunan Eyang Surya Jaya masih banyak terdapat di wilayah ini. Namun, kebanyakan dari mereka tidak menonjolkan asal-usulnya sebagai trah Eyang Surya Jaya atau Mbah Wagirun.
Video Punden Mbah Wagirun
Berikut ini informasi lebih lengkap saat wawancara dengan Pak Biin, kuncen Punden Mbah Wagirun.
Penutup
Itulah ulasan ayodolenrek tentang sPunden Mbah Wagirun. Saat ini, punden ini banyak dikunjungi orang pada malam-malam tertentu dan mulai berkembang menjadi satu objek wisata religi.
Ayodolenrek - Sejarah dan Asal usul Nama Kecamatan Wagir, Malang, Jatim.
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya"
Satu peribahasa yang menyatakan jika setiap daerah mempunyai sejarah, asal-usul, adat-istiadat dan budaya yang berbeda=beda. Dan, hampir setiap daerah di Indonesia, memilikinya sehingga dikatakan Indonesia memang kaya akan tradisi dan budaya.
Punden Mbah Wagirun
Kali ini, ayodolenrek mencoba menyajikan informasi tentang asal-usul satu daerah di Malang, Jawa Timur, yaitu Kecamatan Wagir.
Indonesia khususnya Pulau Jawa memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri dimana hampir di setiap daerah memiliki seorang tokoh yang dianggap sebagai pionir dalam membuka lahan dan mengembangkan wilayahnya. Seorang tokoh Bedah Kerawang.
Terdapat sebuah punden diantara hamparan sawah dan ladang. Saat mendekatinya, dua bangunan joglo yang ditengah-tengahnya terdapat satu makam. Sebuah papan nama tergantung bertuliskan "Punden Mbah Wagirun".
Nama "Wagirun" mirip dengan nama Wagir. Dan ternyata di punden inilah tokoh bedah kerawang kecamatan Wagir dikebumikan. Lalu, siapakah nama aslinya, darimana asalnya dan siapakah keturunannya?
Berikut ini, penuturan Pak Biin, Juru kunci Punden Mbah Wagirun.
Sejarah dan Asal-usul Desa Wagir malang
Mbah Wagirun memiliki nama asli Surya Wijaya atau Surya Jaya yang merupakan pengikut dari Pangeran Diponegoro yang berjuang melawan VOC Belanda pada tahun 1925 -1930.. Ketika Pangeran Diponegoro kalah, maka para pengikutnya banyak yang melarikan diri ke berbagai daerah di Jawa, salah satunya adalah wilayah Malang, Jawa Timur.
Tercatat ada 9 orang atau lebih para prajurit Pangeran Diponegoro yang tersebar di wilayah Malang Raya. Salah satunya adalah Mbah Wagirun atau Surya wijaya yangberasal dari desa Wadung, kecamatan Wadung, Pati, Jawa Tengah.
Punden Eyang Surya Jaya atau Mbah Wagirun
Untuk menghindari kejaran tentara Belanda, Eyang Surya Jaya bersama pengikutnya melakukan perjalanan dari Pati menuju Malang lewat pinggiran atau melewati jalan pinggir dan jarang dilewati orang. Akhirnya, menemukan satu wilayah yang dianggap cocok, maka beliau bersama pengikutnya melakukan "babad alas" atau pembukaan lahan.
Hari Rabu Wage yang dipilih. Sehingga wilayah itu dikenal dengan nama Wagir yang berasal dari kata Wage dan "pinggir".
Kemudian, di tempat awal Mbah Wagirun ini, berkembang menjadi satu pedukuhan dimana mereka menetap dan mengembangkan keturunan. Salah satu putra Eyang Surya Jaya adalah Mbah Suratman atau Surya Putra, mengembangkan wilayah di Tegal Sokan. Semakin lama wilayah ini berkembang menjadi pesesaan lalu sekarang menjadi satu kecamatan di Kabupaten Malang.
Dan, keturunan Eyang Surya Jaya masih banyak terdapat di wilayah ini. Namun, kebanyakan dari mereka tidak menonjolkan asal-usulnya sebagai trah Eyang Surya Jaya atau Mbah Wagirun.
Video Punden Mbah Wagirun
Berikut ini informasi lebih lengkap saat wawancara dengan Pak Biin, kuncen Punden Mbah Wagirun.
Penutup
Itulah ulasan ayodolenrek tentang sPunden Mbah Wagirun. Saat ini, punden ini banyak dikunjungi orang pada malam-malam tertentu dan mulai berkembang menjadi satu objek wisata religi.
Ayo dolen rek - Ken Arok lahir di Sumber Pang, Wagir, Malang? Kisah Ken Arok dan Ken Dedes merupakan kisah terkenal bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa Timur. Meskipun kisah ini berasal dari Serat Pararaton yang notabene merupakan satu karya sastra yang dibuat jauh setelah era Singhasari, namun cerita inilah yang dipercaya dan berkembang di masyarakat.
Selain Pararaton, banyak versi kisah tentang Ken Arok dan Ken Dedes ini seperti "Arok Dedes" karya Pramoedya Ananta Toer, "Banjir Darah di Tumapel" karya Gamal Kamandoko, "Ken Arok dari Kejayaan hingga Keruntuhan" karya Muhamad Syamsudin, dan lain-lain.
Meskipun alur cerita dalam Serat Pararaton masih disangsikan kebenarannya, namun lokasi dan tempat kejadian, menjadi rujukan para pemerhati sejarah.
Memang, kedua tokoh ini, diliputi misteri. Siapakah Ken Arok dan Ken Dedes? Darimana asal-usulnya, siapakah kedua orangtuanya yang sebenarnya, dan lain sebagainya.
Kali ini, ayo dolen rek menyajikan informasi tentang salah satu versi tempat kelahiran Ken Arok yaitu di Desa Sumber Pang, Wagir, Malang.
Sumber Pang, Wagir, Malang
Menurut R. Pitono, salah satu penerjemah Serat Pararton, menyatakan jika Ken Arok berasal dari Sumber Putjung, satu desa di lereng Gunung Kawi. Jika ditinjau dari lokasinya, memang dekat dengan Keraton Gunung Kawi dimana terdapat makam yang diperkirakan sebagai tempat perabuan Prabu Kameswara, Raja Jenggala.
Prabu Kameswara inilah yang di duga sebagai Bathara Brahma, ayah dari Ken Arok.
Kemudian, ada nama desa bernama Kendogo, apabila dirunut akan mengarahkan kita pada nama Ken Endog, ibu dari Ken Arok.
Sumber Pang, Wagir, Malang
Lalu, alasan Sumber Pang, Wagir sebagai tempat lahir pendiri kerajaan Tumapel ini didasarkan pada tinggalan atau jejak sejarah yang ditemukan di sepanjang wilayah Wagir, seperti Tegal Sokan, Pura Patirtaan, Gunung Katu dan lain-lain.
Dengan adanya temuan tersebut, maka ada kemungkinan besar hal itu benar terjadi. Karena wilayah Wagir memang berada di sisi timur Gunung Kawi sesuai dengan keterangan dalam Serat Pararaton yang menyatakan jika Ken Arok berasal dari Timur Kawi.
Kedua versi ini tidak ditunjang dengan rujukan maupun bukti tertulis, karena rentang waktu sejak berdirinya kerajaan Tumapel hingga sekarang, sudah mencapai 800 tahun sehingga banyak perubahan yang terjadi.
Sumber Pang
"Demikianlah bhatara Brahma mentjari2 teman untuk bersetubuh, maka adalah sepasang penganten jang baru kawin, sedang tjinta-mentjintai dengan mesra, jang priya bernama Gajahpara,jang wanita bernama Ken Endok, mata pentjahariannja bertani.
Ken Endok pergi kesawah mengirim makanan suaminja Gajahpara, nama sawah tempat Ken Endok mengirim makanan suaminja bernama Ayuga' tempat kediaman Ken Endok bernama Pangkur.
Turunlah bhatara Brahrna bersetubuh dengan Ken Endok,tempat bersetubuh itu bernama Tegal lalateng, dewa Brahma berpesan kepadg Ken Endok: ,,D;anganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi, djika engkau bersetubuh dengan suamimu,suamimu meninggal, karena ketiampuran dengan anakku itu; ttama dari anakku itu Ken Angrok, dialah jang kelak membawa perubahan besar dipulau Djawa".
Wagir memang merupakan salah satu desa kuno yang dikenal sejak abad VIII M, pada era kerajaan Kanjuruhan. Tentunya, generasi penerusnya tidak akan memanfaatkan tempat-tempat yang sudah ada, selain membangun tempat-tempat baru.
Dan, Sumber Pang merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Wagir yang meliputi wilayah Gunung Katu dan sekitarnya.
Asal nama Sumber Pang sendiri berasal dari sebuah mata air di lereng Gunung Katu dimana sumber air ini mengalir lalu bercabang atau "nge-pang" sehingga akhirnya masyarakat setempat memberi nama Sumber Pang atau sumber yang bercabang.
Nama "Pangkur" dalam Pararton sebagai tempat tinggal Ken Endok dan Gajah Para, tidak dapat ditemukan saat ini di wilayah timur Kawi. Pergantian pemerintahan dan perubahan jaman membuat banyak terjadi perubahan pada nama-nama desa di wilayah Malang. Kemungkinan, nama "Pangkur" bukanlah nama desa sebenarnya atau nama samaran saja.
Dan, diperkirakan jika nama Sumber Pang dianggap sebagai nama yang lebih mirip sehingga dapat disimpulkan jika Pangkur adalah Sumber Pang.
Selain Pangkur, nama "Tegal Lalateng" juga diperkirakan berada di wilayah Wagir dan letaknya tidak terlalu jauh dari Sumber Pang. Saat ini nama Tegal Lalateng berubah menjadi "Ndarungan"
Dengan argumen tersebut, maka dapat disimpulkan jika Ken Arok lahir di Sumber Pang, Wagir, Malang sebagai rujukan nama desa "Pangkur" yang tersebut dalam Pararaton.
Video Sumber Pang, Wagir, Malang
Berikut ini, adalah sebuah video dari channel Jejak Alam yang menceritakan desa Sumber Pang, Wagir, Malang dan kemungkinan sebagai tempat kelahiran Ken Arok.
Itulah, sekelumit ulasan dari www.ayodolenrek.blogspot.com tentang asal-usul sosok pendiri Kerajaan Tumapel atau Singhasari.
Ayo dolen rek - Ken Arok lahir di Sumber Pang, Wagir, Malang? Kisah Ken Arok dan Ken Dedes merupakan kisah terkenal bagi masyarakat Indonesia khususnya Jawa Timur. Meskipun kisah ini berasal dari Serat Pararaton yang notabene merupakan satu karya sastra yang dibuat jauh setelah era Singhasari, namun cerita inilah yang dipercaya dan berkembang di masyarakat.
Selain Pararaton, banyak versi kisah tentang Ken Arok dan Ken Dedes ini seperti "Arok Dedes" karya Pramoedya Ananta Toer, "Banjir Darah di Tumapel" karya Gamal Kamandoko, "Ken Arok dari Kejayaan hingga Keruntuhan" karya Muhamad Syamsudin, dan lain-lain.
Meskipun alur cerita dalam Serat Pararaton masih disangsikan kebenarannya, namun lokasi dan tempat kejadian, menjadi rujukan para pemerhati sejarah.
Memang, kedua tokoh ini, diliputi misteri. Siapakah Ken Arok dan Ken Dedes? Darimana asal-usulnya, siapakah kedua orangtuanya yang sebenarnya, dan lain sebagainya.
Kali ini, ayo dolen rek menyajikan informasi tentang salah satu versi tempat kelahiran Ken Arok yaitu di Desa Sumber Pang, Wagir, Malang.
Sumber Pang, Wagir, Malang
Menurut R. Pitono, salah satu penerjemah Serat Pararton, menyatakan jika Ken Arok berasal dari Sumber Putjung, satu desa di lereng Gunung Kawi. Jika ditinjau dari lokasinya, memang dekat dengan Keraton Gunung Kawi dimana terdapat makam yang diperkirakan sebagai tempat perabuan Prabu Kameswara, Raja Jenggala.
Prabu Kameswara inilah yang di duga sebagai Bathara Brahma, ayah dari Ken Arok.
Kemudian, ada nama desa bernama Kendogo, apabila dirunut akan mengarahkan kita pada nama Ken Endog, ibu dari Ken Arok.
Sumber Pang, Wagir, Malang
Lalu, alasan Sumber Pang, Wagir sebagai tempat lahir pendiri kerajaan Tumapel ini didasarkan pada tinggalan atau jejak sejarah yang ditemukan di sepanjang wilayah Wagir, seperti Tegal Sokan, Pura Patirtaan, Gunung Katu dan lain-lain.
Dengan adanya temuan tersebut, maka ada kemungkinan besar hal itu benar terjadi. Karena wilayah Wagir memang berada di sisi timur Gunung Kawi sesuai dengan keterangan dalam Serat Pararaton yang menyatakan jika Ken Arok berasal dari Timur Kawi.
Kedua versi ini tidak ditunjang dengan rujukan maupun bukti tertulis, karena rentang waktu sejak berdirinya kerajaan Tumapel hingga sekarang, sudah mencapai 800 tahun sehingga banyak perubahan yang terjadi.
Sumber Pang
"Demikianlah bhatara Brahma mentjari2 teman untuk bersetubuh, maka adalah sepasang penganten jang baru kawin, sedang tjinta-mentjintai dengan mesra, jang priya bernama Gajahpara,jang wanita bernama Ken Endok, mata pentjahariannja bertani.
Ken Endok pergi kesawah mengirim makanan suaminja Gajahpara, nama sawah tempat Ken Endok mengirim makanan suaminja bernama Ayuga' tempat kediaman Ken Endok bernama Pangkur.
Turunlah bhatara Brahrna bersetubuh dengan Ken Endok,tempat bersetubuh itu bernama Tegal lalateng, dewa Brahma berpesan kepadg Ken Endok: ,,D;anganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi, djika engkau bersetubuh dengan suamimu,suamimu meninggal, karena ketiampuran dengan anakku itu; ttama dari anakku itu Ken Angrok, dialah jang kelak membawa perubahan besar dipulau Djawa".
Wagir memang merupakan salah satu desa kuno yang dikenal sejak abad VIII M, pada era kerajaan Kanjuruhan. Tentunya, generasi penerusnya tidak akan memanfaatkan tempat-tempat yang sudah ada, selain membangun tempat-tempat baru.
Dan, Sumber Pang merupakan nama salah satu desa di Kecamatan Wagir yang meliputi wilayah Gunung Katu dan sekitarnya.
Asal nama Sumber Pang sendiri berasal dari sebuah mata air di lereng Gunung Katu dimana sumber air ini mengalir lalu bercabang atau "nge-pang" sehingga akhirnya masyarakat setempat memberi nama Sumber Pang atau sumber yang bercabang.
Nama "Pangkur" dalam Pararton sebagai tempat tinggal Ken Endok dan Gajah Para, tidak dapat ditemukan saat ini di wilayah timur Kawi. Pergantian pemerintahan dan perubahan jaman membuat banyak terjadi perubahan pada nama-nama desa di wilayah Malang. Kemungkinan, nama "Pangkur" bukanlah nama desa sebenarnya atau nama samaran saja.
Dan, diperkirakan jika nama Sumber Pang dianggap sebagai nama yang lebih mirip sehingga dapat disimpulkan jika Pangkur adalah Sumber Pang.
Selain Pangkur, nama "Tegal Lalateng" juga diperkirakan berada di wilayah Wagir dan letaknya tidak terlalu jauh dari Sumber Pang. Saat ini nama Tegal Lalateng berubah menjadi "Ndarungan"
Dengan argumen tersebut, maka dapat disimpulkan jika Ken Arok lahir di Sumber Pang, Wagir, Malang sebagai rujukan nama desa "Pangkur" yang tersebut dalam Pararaton.
Video Sumber Pang, Wagir, Malang
Berikut ini, adalah sebuah video dari channel Jejak Alam yang menceritakan desa Sumber Pang, Wagir, Malang dan kemungkinan sebagai tempat kelahiran Ken Arok.
Itulah, sekelumit ulasan dari www.ayodolenrek.blogspot.com tentang asal-usul sosok pendiri Kerajaan Tumapel atau Singhasari.
Rujukan :
Serat Pararaton, R. Pitono
Situs Sekaran, Sekarpuro, Pakis, Malang – Akhirnya setelah dibiarkan selama beberapa bulan terlantar, Situs Sekaran yang merupakan peninggalan kerajaan Singhasari, mulai diperhatikan oleh pihak-pihak terkait. Situs yang di temukan di kilometer 37 seksi lima tol Malang Pandaan ini memang sempat terlantar dan dibiarkan begitu saja.
BPCB, Jasa Marga dan Disparta Kabupaten Malang mempersiapkan pembangunan dinding pelindung situs Sekaran
Tumpukan batu bata jaman kerajaan Singosari dulu dibiarkan kepanasan dan kehujanan, sementara beberapa galian pasca ekskavasi, kembali tertutup tanah dan ditumbuhi rerumputan.
Setelah beberapa kali BPCB dan para pemerhati sejarah meminta pemerintah kabupaten Malang untuk memperhatikan perawatan situs ini, akhirnya Jasa MArga Tol Malang-Pandaan, memberikan bantuan sebesar Rp. 1.5 Miliar untuk pembangunan dinding pelindung situs Sekaran.
Sebenarnya, pihak Jasa Marga telah menghibahkan tanah di area situs Sekaran ini kepada Pemkab Malang. Bahkan, saat pembangunan jalan tol, Jasa Marga telah membelokkan jalan tol dari rencana semula demi menghindari situs Sekaran yang baru ditemukan.
Terhitung sejak 4 Februari 2020 dan diperkirakan rampung pada 31 Maret 2020, Jasa Marga dan BPCB mulai melakukan pembangunan dinding situs dan bangunan penutup. Setelah itu, BPCB akan melakukan ekskavasi lagi.
BPCB, Arkeolog, Disparta Malang dan Komunitas Jelajah Jejak Malang di situs Sekaran
Terbukti, Jasa Marga memiliki komitmen terhadap pelestarian situs sejarah, selanjutnya pemanfaatan dan penelitian lebih lanjut akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang.
Wicaksono Dwi Nugroho, Arkeolog BPCB menegaskan jika keberadaan situs Sekaran ini sangat penting artinya bagi sejarah nasional. Mengingat peninggalan sejarah Singosari hanya berupa candi-candi, sedangkan pemukiman dan kedatonnya belum ditemukan.
Video Situs Sekaran
Kami selaku pemerhati sejarah, merasa lega melihat tindak lanjut pemerintah dalam pelestarian peninggalan bersejarah yang ada di desa Sekarpuro, Pakis, Kabupaten Malang. Dengan demikian, generasi sekarang dan mendatang akan dapat mengingat kembali sejarah leluhurnya pada masa lalu.
Nah, tunggu apalagi? Mari mengkaji sejarah dan memetik hikmah.
Situs Sekaran, Sekarpuro, Pakis, Malang – Akhirnya setelah dibiarkan selama beberapa bulan terlantar, Situs Sekaran yang merupakan peninggalan kerajaan Singhasari, mulai diperhatikan oleh pihak-pihak terkait. Situs yang di temukan di kilometer 37 seksi lima tol Malang Pandaan ini memang sempat terlantar dan dibiarkan begitu saja.
BPCB, Jasa Marga dan Disparta Kabupaten Malang mempersiapkan pembangunan dinding pelindung situs Sekaran
Tumpukan batu bata jaman kerajaan Singosari dulu dibiarkan kepanasan dan kehujanan, sementara beberapa galian pasca ekskavasi, kembali tertutup tanah dan ditumbuhi rerumputan.
Setelah beberapa kali BPCB dan para pemerhati sejarah meminta pemerintah kabupaten Malang untuk memperhatikan perawatan situs ini, akhirnya Jasa MArga Tol Malang-Pandaan, memberikan bantuan sebesar Rp. 1.5 Miliar untuk pembangunan dinding pelindung situs Sekaran.
Sebenarnya, pihak Jasa Marga telah menghibahkan tanah di area situs Sekaran ini kepada Pemkab Malang. Bahkan, saat pembangunan jalan tol, Jasa Marga telah membelokkan jalan tol dari rencana semula demi menghindari situs Sekaran yang baru ditemukan.
Terhitung sejak 4 Februari 2020 dan diperkirakan rampung pada 31 Maret 2020, Jasa Marga dan BPCB mulai melakukan pembangunan dinding situs dan bangunan penutup. Setelah itu, BPCB akan melakukan ekskavasi lagi.
BPCB, Arkeolog, Disparta Malang dan Komunitas Jelajah Jejak Malang di situs Sekaran
Terbukti, Jasa Marga memiliki komitmen terhadap pelestarian situs sejarah, selanjutnya pemanfaatan dan penelitian lebih lanjut akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang.
Wicaksono Dwi Nugroho, Arkeolog BPCB menegaskan jika keberadaan situs Sekaran ini sangat penting artinya bagi sejarah nasional. Mengingat peninggalan sejarah Singosari hanya berupa candi-candi, sedangkan pemukiman dan kedatonnya belum ditemukan.
Video Situs Sekaran
Kami selaku pemerhati sejarah, merasa lega melihat tindak lanjut pemerintah dalam pelestarian peninggalan bersejarah yang ada di desa Sekarpuro, Pakis, Kabupaten Malang. Dengan demikian, generasi sekarang dan mendatang akan dapat mengingat kembali sejarah leluhurnya pada masa lalu.
Nah, tunggu apalagi? Mari mengkaji sejarah dan memetik hikmah.
Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang – Sumber Nagan atau Sumber Naga yang berada di dusun Biru, Desa Gunungrejo, kecamatan SIngosari, Malang, Jawa Timur ini, memang memiliki air yang bersih, jernih dan menyegarkan. Bahkan tidak hanya badan saja yang menjadi segar, tapi jiwa kita juga turut merasakan kesegarannya.
Menjajal Khasiat dan Kesegaran Air di Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang
Dan faktanya, Sumber Naga selama ini memang digunakan sebagai tempat untuk pembersihan atau penyucian jiwa dan raga, terutama bagi para pelaku spiritual. Tidak hanya itu, karena kemurnian dan kandungan mineral yang tinggi, air yang berasal dari Sumber Naga ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit. Sehingga banyak orang dari berbagai daerah yang datang ke tempat terpencil ini untuk mencari obat bagi penyakitnya.
Rombongan wisatawan yang menjajal khasiat air SUmber Nagan
Nama Naga atau Nagan yang disematkan pada mata air yang tidak pernah kering sepanjang masa ini, berasal dari kata “Nata” dan “Raga” yang artinya menata raga atau menata badan atau memperbaiki raga. Konon, pada masa kerajaan Singhasari dahulu, Sumber Naga ini menjadi tempat penggemblengan para prajurit yang akan maju ke medan laga.
Sampai sekarang, Sumber Nagan ini menjadi tempat penggemblengan para pendekar atau mereka yang gemar ilmu kanuragan. Tapi, tak jarang juga wisatawan yang datang ke tempat ini untuk berobat atau keperluan meningkatkan inner beauty atau auranya. Karena, Ken Dedes, Ratu Singhasari yang terkenal memiliki aura memancar dari tubuhnya, sering mandi disini.
Nah, mendengar mitos-mitos tersebut, penulis tergerak untuk menjajal khasiat dan kesegaran air di Sumber Nagan bersama teman-teman. Maka, pada Jumat sore, kami berempat mengunjungi Sumber Naga di dusun Biru, Gunungrejo, Singosari.
Batu-batu besar, pohon dan rumpun bambu yang rimbun di Sumber Nagan
Sumber Naga berada ditempat sunyi dan terpencil. Untuk memasukinya, kita harus melewati beberapa anak tangga terlebih dahulu. Pohon-pohon dan rumpun bambu ditempat ini sangat rimbun ditambah dengan batu-batu besar sepanjang sungai kecil membuat kesan mistis begitu kental menyelimuti mata air ini.
Anak-anak sedang mandi di Sumber Nagan
Saat tiba di mata air ini, terlihat sekumpulan anak-anak laki-laki sedang mandi. Mereka seolah terbiasa dengan suasana sepi dan terpencil tempat ini. Orang dewasa pun akan merasa enggan mengunjungi tempat di lereng sawah dan perkebunan warga ini jika tidak ada keperluan mendesak dan tanpa didampingi pembimbing atau penasehat spiritualnya.
Tetapi gerombolan anak-anak ini tanpa merasa takut dan was-was, menceburkan diri ke kolam lalu mandi dibawah guyuran air yang memancar dari tiga pancuran air. Ternyata, mereka adalah anak-anak dari dusun Biru sendiri yang sejak kecil memang sudah terbiasa mandi ditempat ini.
Iseng-iseng, penulis mengabadikan moment saat mereka mandi. Mereka pun buru-buru menutup auratnya. Karena mereka mandi telanjang bulat. “Isin pakde…” teriak mereka.
Setelah anak-anakini selesai mandi. Maka, kami bergiliran merasakan kesegaran air Sumber Naga yang memang menyegarkan badan ini. Terdapat tiga pancuran air yang mengalirkan air dengan debit berbeda mulai dari yang kecil, sedang dan besar. Saat air mengucur mengenai kepala lalu turun kebawah, seolah kotoran-kotoran atau penyakit yang ada di dalam tubuh ini turut larut di dalamnya.
Menjajal kesegaran air di Sumber Nagan
Dan, saat membalikkan badan sehingga air yang mengucur deras itu mengenai punggung, ruas-ruas tulang belakang seperti merasakan sensasi pijat alami. Tubuh terasa segar dan relaks. Setelah itu, kami mendatangi mushola kecil yang berada di pinggir sungai dibawah pancuran sumber Naga untuk sholat sunnah dan mengirim doa kepada para leluhur ditempat ini.
Sebelum tahun 1998, mushola ditempat ini berukuran cukup besar. Namun, lahar dingin Gunung Arjuna yang mengalir melalui sungai ini membuat tempat ibadah ini rusak. Sehingga warga dusun Biru membangun mushola kecil sebagai penggantinya.
Saat berganti pakaian, ada satu pemandangan yang unik dimana di dinding tempat ganti terdapat sebuah tulisan dalam ukuran karton besar. Isi tulisan itu adalah tata cara mandi di Sumber Naga seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Tata cara mandi di Sumber Nagan, Singosari, Malang
Setelah membaca tulisan tersebut, kami menyadari jika semua tempat memiliki aturan dan tata cara masing-masing seperti terdapat dalam peribahasa, “Lain lubuk lain ikannya dan lain ladang lain pula belalang.”
Sumber Nagan merupakan tempat bersejarah yang ada sejak sebelum jaman kerajaan Singhasari berdiri sehingga pemerintah daerah dan warga dusun Biru menjaga dan memelihara tempat ini agar tetap menjadi tempat sakral. Mengingat banyak kenangan sejarah masa silam ditempat ini dan kelangsungan sumber air yang menghidupi warga dusun Biru akan tetap lestari hingga anak cucu kita kelak.
Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang
Video Terkait Sumber Nagan
Sahabat dolenners, itulah pengalaman penulis bersama teman-teman saat menjajal khasiat dan kesegaran air di Sumber Nagan, Singosari, Malang. Dan, terbukti, air di sumber Nagan memang menyegarkan jiwa dan raga serta cocok untuk terapi penyembuhan berbagai penyakit.
Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang – Sumber Nagan atau Sumber Naga yang berada di dusun Biru, Desa Gunungrejo, kecamatan SIngosari, Malang, Jawa Timur ini, memang memiliki air yang bersih, jernih dan menyegarkan. Bahkan tidak hanya badan saja yang menjadi segar, tapi jiwa kita juga turut merasakan kesegarannya.
Menjajal Khasiat dan Kesegaran Air di Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang
Dan faktanya, Sumber Naga selama ini memang digunakan sebagai tempat untuk pembersihan atau penyucian jiwa dan raga, terutama bagi para pelaku spiritual. Tidak hanya itu, karena kemurnian dan kandungan mineral yang tinggi, air yang berasal dari Sumber Naga ini dipercaya dapat mengobati berbagai penyakit. Sehingga banyak orang dari berbagai daerah yang datang ke tempat terpencil ini untuk mencari obat bagi penyakitnya.
Rombongan wisatawan yang menjajal khasiat air SUmber Nagan
Nama Naga atau Nagan yang disematkan pada mata air yang tidak pernah kering sepanjang masa ini, berasal dari kata “Nata” dan “Raga” yang artinya menata raga atau menata badan atau memperbaiki raga. Konon, pada masa kerajaan Singhasari dahulu, Sumber Naga ini menjadi tempat penggemblengan para prajurit yang akan maju ke medan laga.
Sampai sekarang, Sumber Nagan ini menjadi tempat penggemblengan para pendekar atau mereka yang gemar ilmu kanuragan. Tapi, tak jarang juga wisatawan yang datang ke tempat ini untuk berobat atau keperluan meningkatkan inner beauty atau auranya. Karena, Ken Dedes, Ratu Singhasari yang terkenal memiliki aura memancar dari tubuhnya, sering mandi disini.
Nah, mendengar mitos-mitos tersebut, penulis tergerak untuk menjajal khasiat dan kesegaran air di Sumber Nagan bersama teman-teman. Maka, pada Jumat sore, kami berempat mengunjungi Sumber Naga di dusun Biru, Gunungrejo, Singosari.
Batu-batu besar, pohon dan rumpun bambu yang rimbun di Sumber Nagan
Sumber Naga berada ditempat sunyi dan terpencil. Untuk memasukinya, kita harus melewati beberapa anak tangga terlebih dahulu. Pohon-pohon dan rumpun bambu ditempat ini sangat rimbun ditambah dengan batu-batu besar sepanjang sungai kecil membuat kesan mistis begitu kental menyelimuti mata air ini.
Anak-anak sedang mandi di Sumber Nagan
Saat tiba di mata air ini, terlihat sekumpulan anak-anak laki-laki sedang mandi. Mereka seolah terbiasa dengan suasana sepi dan terpencil tempat ini. Orang dewasa pun akan merasa enggan mengunjungi tempat di lereng sawah dan perkebunan warga ini jika tidak ada keperluan mendesak dan tanpa didampingi pembimbing atau penasehat spiritualnya.
Tetapi gerombolan anak-anak ini tanpa merasa takut dan was-was, menceburkan diri ke kolam lalu mandi dibawah guyuran air yang memancar dari tiga pancuran air. Ternyata, mereka adalah anak-anak dari dusun Biru sendiri yang sejak kecil memang sudah terbiasa mandi ditempat ini.
Iseng-iseng, penulis mengabadikan moment saat mereka mandi. Mereka pun buru-buru menutup auratnya. Karena mereka mandi telanjang bulat. “Isin pakde…” teriak mereka.
Setelah anak-anakini selesai mandi. Maka, kami bergiliran merasakan kesegaran air Sumber Naga yang memang menyegarkan badan ini. Terdapat tiga pancuran air yang mengalirkan air dengan debit berbeda mulai dari yang kecil, sedang dan besar. Saat air mengucur mengenai kepala lalu turun kebawah, seolah kotoran-kotoran atau penyakit yang ada di dalam tubuh ini turut larut di dalamnya.
Menjajal kesegaran air di Sumber Nagan
Dan, saat membalikkan badan sehingga air yang mengucur deras itu mengenai punggung, ruas-ruas tulang belakang seperti merasakan sensasi pijat alami. Tubuh terasa segar dan relaks. Setelah itu, kami mendatangi mushola kecil yang berada di pinggir sungai dibawah pancuran sumber Naga untuk sholat sunnah dan mengirim doa kepada para leluhur ditempat ini.
Sebelum tahun 1998, mushola ditempat ini berukuran cukup besar. Namun, lahar dingin Gunung Arjuna yang mengalir melalui sungai ini membuat tempat ibadah ini rusak. Sehingga warga dusun Biru membangun mushola kecil sebagai penggantinya.
Saat berganti pakaian, ada satu pemandangan yang unik dimana di dinding tempat ganti terdapat sebuah tulisan dalam ukuran karton besar. Isi tulisan itu adalah tata cara mandi di Sumber Naga seperti terlihat pada gambar berikut ini.
Tata cara mandi di Sumber Nagan, Singosari, Malang
Setelah membaca tulisan tersebut, kami menyadari jika semua tempat memiliki aturan dan tata cara masing-masing seperti terdapat dalam peribahasa, “Lain lubuk lain ikannya dan lain ladang lain pula belalang.”
Sumber Nagan merupakan tempat bersejarah yang ada sejak sebelum jaman kerajaan Singhasari berdiri sehingga pemerintah daerah dan warga dusun Biru menjaga dan memelihara tempat ini agar tetap menjadi tempat sakral. Mengingat banyak kenangan sejarah masa silam ditempat ini dan kelangsungan sumber air yang menghidupi warga dusun Biru akan tetap lestari hingga anak cucu kita kelak.
Sumber Nagan, Biru, Singosari, Malang
Video Terkait Sumber Nagan
Sahabat dolenners, itulah pengalaman penulis bersama teman-teman saat menjajal khasiat dan kesegaran air di Sumber Nagan, Singosari, Malang. Dan, terbukti, air di sumber Nagan memang menyegarkan jiwa dan raga serta cocok untuk terapi penyembuhan berbagai penyakit.
SINGHASARI TEMPLE - When the morning sun starts to spread its light that warmly touches the skin, I walk along the paved streets towards Singhasari Temple. The sky was bright with blue clusters covered in thin clouds stretching along the eyes.
I stopped the speed of the motorcycle on the edge of the sidewalk. Then, from the edge of the fence I stared at the splendor of Singosari Temple which stood amidst a stretch of green grass. Looks magnificent and is clean.
Singhasari Temple
When stepping into the courtyard of the temple, picture after picture crossed my mind. The story of the life journey of the figure of Maharaja Kertanegara, the last king of Singhasari who was enshrined in Singosari Temple.
Singosari Temple
Singosari Temple stands majestically on the edge of the road. This temple is a place for conquering the body of King Kertanegara and as a place of respect for this last king of Singosari.
Singosari Temple is an icon of Singosari sub-district and is one of the kingdoms of Singhasari that is easily accessible and maintained and is kept clean. Almost every day many tourists visit especially on holidays.
Singhasari Temple, Candirenggo, Singosari, Malang, East Java
Its presence on the edge of the highway that is widely passed makes many motorists stop for a moment to enjoy its splendor. Some just look at it from outside the fence and many are interested in enjoying it up close.
But when entering the beautiful temple area, the memories of Raja Kertanegara will fill our minds. As a generation born far from the kingdom, many did not yet know about this last king of Singhasari.
Kertanegara and The collapse of the kingdom of Singhasari
Kertanegara is the crown prince of Raja Wisnuwardhana, king of Agung Tumapel who controls Janggala and Panjalu, with Empress Waning Hyun. In 1254, Kertanegara was crowned king of Daha before finally replacing his father's power.
Sri Kertanegara was the first Singhasari king to let go of his views outside Java. He left the traditional politics which revolved around Janggala - Panjalu. He wanted to have a kingdom that was wider and bigger than the kingdom of Janggala - the legacy of King Airlangga.
Kertanegara breaks down traditional politics and adheres to new ideas which are challenged by adherents of the old ideologies that have taken root before. So that he did not hesitate to get rid of the dignitaries who dealt with and replaced them with other figures who agreed.
One of the officials who was deposed from his position was Mahamentri Mpu Raganatha and was replaced by Mahisa Anengah Panji Angragani.
During his reign there was also an armed rebellion mentioned in Kidung Panjji Wijayakrama Pupuh I, namely the rebellion of Kelana Bhayangkara and in Negarakretagama pupuh XLI / 4 namely the Cayaraja rebellion.
Although the rebellions were successfully crushed, the implementation of the political idea of expanding the territory was hampered. Five years later the Sang Kertanegara sent its troops to Suwarnabhumi in 1275 called Pamalayu.
The expedition to Malay succeeded well where the Singhasari army managed to subdue the king of Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa in Dharmasraya, which was based in Jambi and controlled the Straits of Malacca. This event was recorded in the Amoghapasa charter or charter of the Padang Arca in 1286.
In 1289, Raja Kertanegara received Meng Khi, the Chinese Emperor's envoy, Kublai Khan. The arrival of Meng Khi asked Shingasari to acknowledge the power of Typical Emperor Gengis and submit tribute as a sign of submission.
However, Kertanegara does not want to submit or surrender. In fact, Meng Khi was carved on his forehead and told to go home.
However, the success of expanding the area to Malayu must be paid dearly. The emptiness of the army in the capital was utilized by Jayakatwang to rebel and succeed in killing Kertanegara.
Then ended the journey of the history of the Singhasari kingdom under the rule of Raja Kertanegara.
History of Singosari Temple
Singosari temple was found in the early 18th century, around 1800 to 1850 in the village of Candirenggo, Singosari District, Malang Regency, East Java. Singosari temple is Hindu-Buddhist because at that time the developing religion was Hinduism and Buddhism.
This temple in Candirenggo Village was thought to have been built during the Majapahit Kingdom which was made to glorify Raja Kertanegara, the last King of Singosari kingdom who died in 1293. Because, after the Singosari kingdom collapsed, Raden Wijaya founded the Majapahit kingdom.
And, at this time the Singosari Temple was built as a place of gathering and glorifying Raja Kertanegara. This is confirmed by the writing on the Nagarakretagama book and the Gajah Mada Inscription found on the temple grounds.
An archaeologist from Europe, gave the name of this temple with the name Cella temple which means tower. However, the surrounding community did not agree with the name of the temple. so until now the name used is Singosari Temple.
Characteristics and Aristotle of Singosari Temple
Viewed from the side of its architecture, Singasari Temple which is located in the middle of this courtyard has a body that stands on a batur of about 1.5 m high, without decoration or relief at the foot of the temple. The stairs going up to the hallway at the foot of the temple are not flanked by the cheeks of the stairs with makara decorations like those found in other temples.
The entrance to the room in the center of the body of the temple faces south, located on the front side of the viewer chamber (a small chamber that protrudes forward). This entrance looks simple without a frame decorated with carvings.
Above the doorway there is a sculpture of Kala's head which is also very simple carved. The existence of several very simple carvings and reliefs raises the suspicion that the construction of Singasari Temple has not been fully resolved.
The threshold of the niche is also frameless and Kala headdress. Similar niches are also found on the other three sides of the Singasari Temple. The size of the niche is larger, equipped with a viewer room and above the threshold there is a simple Kala headdress. In the middle of the main room there is a broken yoni on the top. There are also no carvings on Yoni's feet.
At a glance, the building of Singasari Temple looks like a two-story building, because the lower part of the roof of the temple is square, resembling a small room with niches on each side. It seems that the niches originally contained statues, but now they are empty.
Above each threshold of the 'door' of the niche there is a Kala headdress with sculptures that are more complicated than those above the entrance threshold and niches in the temple's body. The roof tops themselves are meru-shaped, the more they shrink. Some of the roof tops appear to have collapsed.
Singasari Temple was once restored by the Dutch government in the 1930s, visible from the carved notes at the foot of the temple. However, the results of the renovation appear to have not been comprehensive, because around the temple grounds there are still piles of stones that have not been returned to their original place.
On the Singasari Temple yard there are also statues which are mostly damaged or unfinished, including Syiwa statues in various positions and sizes, Durga, and Lembu Nandini. (purbakala.net)
Location of Singosari Temple
Singosari Temple is on Jl. Kertanegara No. 148 Candirenggo Village, Singosari District, Malang Regency, East Java, Indonesia.
Entrance ticket to Singosari Temple
To enter Singosari Temple, visitors are required to fill in the guest book first and make voluntary contributions, not subject to official rates.
Video Of Singhasari Temple
Historical Attractions Near Singosari Temple
Not only Singosari Temple, Malang Regency also has several other historical sites which are located not far from the kings of Raja Kertanegara. Such as the following.
SINGHASARI TEMPLE - When the morning sun starts to spread its light that warmly touches the skin, I walk along the paved streets towards Singhasari Temple. The sky was bright with blue clusters covered in thin clouds stretching along the eyes.
I stopped the speed of the motorcycle on the edge of the sidewalk. Then, from the edge of the fence I stared at the splendor of Singosari Temple which stood amidst a stretch of green grass. Looks magnificent and is clean.
Singhasari Temple
When stepping into the courtyard of the temple, picture after picture crossed my mind. The story of the life journey of the figure of Maharaja Kertanegara, the last king of Singhasari who was enshrined in Singosari Temple.
Singosari Temple
Singosari Temple stands majestically on the edge of the road. This temple is a place for conquering the body of King Kertanegara and as a place of respect for this last king of Singosari.
Singosari Temple is an icon of Singosari sub-district and is one of the kingdoms of Singhasari that is easily accessible and maintained and is kept clean. Almost every day many tourists visit especially on holidays.
Singhasari Temple, Candirenggo, Singosari, Malang, East Java
Its presence on the edge of the highway that is widely passed makes many motorists stop for a moment to enjoy its splendor. Some just look at it from outside the fence and many are interested in enjoying it up close.
But when entering the beautiful temple area, the memories of Raja Kertanegara will fill our minds. As a generation born far from the kingdom, many did not yet know about this last king of Singhasari.
Kertanegara and The collapse of the kingdom of Singhasari
Kertanegara is the crown prince of Raja Wisnuwardhana, king of Agung Tumapel who controls Janggala and Panjalu, with Empress Waning Hyun. In 1254, Kertanegara was crowned king of Daha before finally replacing his father's power.
Sri Kertanegara was the first Singhasari king to let go of his views outside Java. He left the traditional politics which revolved around Janggala - Panjalu. He wanted to have a kingdom that was wider and bigger than the kingdom of Janggala - the legacy of King Airlangga.
Kertanegara breaks down traditional politics and adheres to new ideas which are challenged by adherents of the old ideologies that have taken root before. So that he did not hesitate to get rid of the dignitaries who dealt with and replaced them with other figures who agreed.
One of the officials who was deposed from his position was Mahamentri Mpu Raganatha and was replaced by Mahisa Anengah Panji Angragani.
During his reign there was also an armed rebellion mentioned in Kidung Panjji Wijayakrama Pupuh I, namely the rebellion of Kelana Bhayangkara and in Negarakretagama pupuh XLI / 4 namely the Cayaraja rebellion.
Although the rebellions were successfully crushed, the implementation of the political idea of expanding the territory was hampered. Five years later the Sang Kertanegara sent its troops to Suwarnabhumi in 1275 called Pamalayu.
The expedition to Malay succeeded well where the Singhasari army managed to subdue the king of Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa in Dharmasraya, which was based in Jambi and controlled the Straits of Malacca. This event was recorded in the Amoghapasa charter or charter of the Padang Arca in 1286.
In 1289, Raja Kertanegara received Meng Khi, the Chinese Emperor's envoy, Kublai Khan. The arrival of Meng Khi asked Shingasari to acknowledge the power of Typical Emperor Gengis and submit tribute as a sign of submission.
However, Kertanegara does not want to submit or surrender. In fact, Meng Khi was carved on his forehead and told to go home.
However, the success of expanding the area to Malayu must be paid dearly. The emptiness of the army in the capital was utilized by Jayakatwang to rebel and succeed in killing Kertanegara.
Then ended the journey of the history of the Singhasari kingdom under the rule of Raja Kertanegara.
History of Singosari Temple
Singosari temple was found in the early 18th century, around 1800 to 1850 in the village of Candirenggo, Singosari District, Malang Regency, East Java. Singosari temple is Hindu-Buddhist because at that time the developing religion was Hinduism and Buddhism.
This temple in Candirenggo Village was thought to have been built during the Majapahit Kingdom which was made to glorify Raja Kertanegara, the last King of Singosari kingdom who died in 1293. Because, after the Singosari kingdom collapsed, Raden Wijaya founded the Majapahit kingdom.
And, at this time the Singosari Temple was built as a place of gathering and glorifying Raja Kertanegara. This is confirmed by the writing on the Nagarakretagama book and the Gajah Mada Inscription found on the temple grounds.
An archaeologist from Europe, gave the name of this temple with the name Cella temple which means tower. However, the surrounding community did not agree with the name of the temple. so until now the name used is Singosari Temple.
Characteristics and Aristotle of Singosari Temple
Viewed from the side of its architecture, Singasari Temple which is located in the middle of this courtyard has a body that stands on a batur of about 1.5 m high, without decoration or relief at the foot of the temple. The stairs going up to the hallway at the foot of the temple are not flanked by the cheeks of the stairs with makara decorations like those found in other temples.
The entrance to the room in the center of the body of the temple faces south, located on the front side of the viewer chamber (a small chamber that protrudes forward). This entrance looks simple without a frame decorated with carvings.
Above the doorway there is a sculpture of Kala's head which is also very simple carved. The existence of several very simple carvings and reliefs raises the suspicion that the construction of Singasari Temple has not been fully resolved.
The threshold of the niche is also frameless and Kala headdress. Similar niches are also found on the other three sides of the Singasari Temple. The size of the niche is larger, equipped with a viewer room and above the threshold there is a simple Kala headdress. In the middle of the main room there is a broken yoni on the top. There are also no carvings on Yoni's feet.
At a glance, the building of Singasari Temple looks like a two-story building, because the lower part of the roof of the temple is square, resembling a small room with niches on each side. It seems that the niches originally contained statues, but now they are empty.
Above each threshold of the 'door' of the niche there is a Kala headdress with sculptures that are more complicated than those above the entrance threshold and niches in the temple's body. The roof tops themselves are meru-shaped, the more they shrink. Some of the roof tops appear to have collapsed.
Singasari Temple was once restored by the Dutch government in the 1930s, visible from the carved notes at the foot of the temple. However, the results of the renovation appear to have not been comprehensive, because around the temple grounds there are still piles of stones that have not been returned to their original place.
On the Singasari Temple yard there are also statues which are mostly damaged or unfinished, including Syiwa statues in various positions and sizes, Durga, and Lembu Nandini. (purbakala.net)
Location of Singosari Temple
Singosari Temple is on Jl. Kertanegara No. 148 Candirenggo Village, Singosari District, Malang Regency, East Java, Indonesia.
Entrance ticket to Singosari Temple
To enter Singosari Temple, visitors are required to fill in the guest book first and make voluntary contributions, not subject to official rates.
Video Of Singhasari Temple
Historical Attractions Near Singosari Temple
Not only Singosari Temple, Malang Regency also has several other historical sites which are located not far from the kings of Raja Kertanegara. Such as the following.